Setengah Dunia

Tak mudah mengejar impian. Namun yang lebih susah mempertahankan apa yang ada sekarang.

Selasa, 22 November 2011

Live In ( Marilah kita bercermin diri )


Kegiatan Live In merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh SMA Santa Maria pada tahun kedua siswi mengenyam pendidikan. Kegiatan ini bertujuan untuk membentuk kepribadian siswi SMA Santa Maria yang mandiri dan berbudi pekerti luhur serta peka akan kehidupan diluar tembok sekolah. Kegiatan Live In ini berbentuk suatu pembelajaran langsung yang diterima oleh para siswi dengan ikut  merasakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat kecil di lereng Gunung Merapi ( tempat yang dipilih oleh sekolah untuk kegiatan Live In ) dan diharapkan siswi dapat mengambil makna kehidupan yang tercermin oleh setiap kegiatan bahkan masyarakat di lereng Gurung Merapi.
            Pada kegiatan Live In ditahun kedua ini, saya bersama dengan Apri ( XI IPS 1 ) mendapatkan orang tua angkat yang berprofesi sebagai pemecah batu di Kali Senowo dan petani cabai. Ayah angkat saya bernama Bapak Suwoto dan ibu angkat saya bernama Ibu Supiyah. Selama kegiatan Live In ini, saya tinggal di rumah orang tua angkat saya, di Dusun Kajangkoso,  Desa Mangunsoko. Saat pertama bertemu dengan orang tua angkat saya, saya memperoleh suatu nilai kehidupan yang sangat berarti bagi saya, yakni kemewahan dan harta benda yang dimiliki tidak dapat menjamin adanya suatu kebahagiaan. Orang tua angkat saya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun memiliki semua yang tidak dimiliki oleh orang kaya dengan harta berlimpah. Pertengkaran suami istri tidak pernah mereka alami dan oleh karena berkat Tuhan dan usaha mereka, kini kedua anak mereka telah mengenyam pendidikan di tingkat menengah bahkan telah dapat menghasilkan penghasilan sendiri . Anak pertama mereka ( Kris / 22 tahun ), kini telah bekerja disebuah restoran di Jakarta sebagai pegawai dan anak kedua mereka ( Watik / 17 tahun ), kini sedang mengenyam pendidikan di Semarang. 
 Kehadiran orang tua angkat saya selama 4 hari saya menjalani kegiatan Live In, membawa pengaruh yang sangat berarti dalam hidup saya. Saya jauh memiliki kemandirian dibanding saat hidup di kota besar, seperti Jakarta dan Yogyakarta. Orang tua angkat saya mengajarkan kepada saya bahwa begitu berartinya sebutir nasi yang telah dihasilkan oleh petani di lereng Gunung Merapi. Para petani itu menggantungkan kehidupan mereka pada padi yang mereka tanam dengan penuh jerih payah. Namun, jerih payah mereka tidak sebanding dengan penghasilan yang mereka dapatkan. Tanaman yang ditanam berbulan-bulan lamanya, mengolah sawah dibawah terik matahari yang begitu menyengat, cuaca yang terkadang tidak menentu, jarak pasar tempat mereka menjual hasil tanam begitu jauh dan menanjak, semua itu mereka lakukan tanpa mengeluh sedikitpun. Tetapi, sesampainya mereka disana untuk menjual, ternyata jerih payah mereka dihargai tidak mencapai setengah dari apa yang telah mereka korbankan. Alhasil, mereka hanya membawa beberapa ribu rupiah saja untuk hasil tanam mereka.
            Hal itulah yang saya rasakan selama menjalani Live In bersama orang tua angkat saya.Walau orang tua angkat saya bukan petani padi melainkan petani cabai, namun saya ikut merasakan jerih payah yang biasa para petani keluarkan demi hasil tanam terbaik untuk kelangsungan hidup mereka. Orang tua angkat saya memiliki 2 ladang yang digunakan untuk menanam cabai, daun bawang dan buncis. Kedua ladang tersebut harus dibersihkan secara rutin agar tidak ditumbuhi tumbuhan liar yang dapat mengganggu kelangsungan tanaman mereka. Saat matahari sedang terik, saya, Apri dan ibu angkat saya pergi ke ladang untuk memetik cabai, daun bawang dan buncis agar dapat diolah menjadi masakan bagi kami sekeluarga nantinya. Jarak yang ditempuh dari rumah menuju ladang begitu jauh, sehingga saya hampir menyerah ditengah jalan karena rasa capai yang teramat sangat. Namun ternyata, semangat ibu angkat saya, berhasil mengalahkan rasa capai saya. Beliau begitu kuat dan tegar walau keringat terlihat membasahi keningnya yang telah berkerut termakan umur. Itulah teladan yang dapat saya contoh dari ibu angkat saya. Seorang wanita perkasa yang tidak terkalahkan oleh keadaan / kondisi kehidupan malah merasa tertuntut untuk bisa mengalahkan kondisi tersebut. 
Kebersamaan yang saya jalani ditengah-tengah masyarakat Dusun Kajangkoso, begitu sangat berarti untuk diri saya. Hidup yang mereka lalui dengan penuh perjuangan, membuahkan suatu nilai yang lebih berharga daripada uang. Nilai yang tidak dapat dirupiahkan, tidak dapat ditukar dengan apapun, yakni nilai ketulusan. Mereka memiliki ketulusan yang begitu sempurna sehingga beban hidup yang mereka rasakan tidak begitu berarti jika mereka memiliki ketulusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar